Mendadak Epilepsi – Terdiagnosa Epilepsi di Usia 60 Tahun

Sering dikaitkan dengan anak-anak, tetapi epilepsi ternyata juga dapat terjadi pada lansia diatas 60 tahun.

Arum seketika kaget ketika dokter mengatakan bahwa ibunya mengalami epilepsi. Seingatnya, hingga usia ibu ke-64 bulan Maret lalu, tidak pernah diketahuinya bahwa Sang Ibu menderita epilepsy. Sepengetahun Arum, epilepsy bukan seperti yang dialami ibunya karena teman sekelas Arum saat sekolah dasar dan tetangga mereka yang kini berusia 50an tahun juga mengalami epilepsy dan berbeda dengan kondisi ibunya. Semula Arum dan keluarga mengira Sang Ibu mengalami stroke karena memang sudah lama mengalami tekanan darah tinggi atau hipertensi. 

Saat itu, Arum hanya diam karena masih mencerna semua keterangan yang diberikan dokter saat mendampingi ibu yang dirawat inap di rumah sakit. Esok paginya, ketika mereka sedang bersiap pulang, karena kondisi ibunya dinyatakan sudah baik, Arum masih penasaran dengan diagnosa dokter. Arum juga perlu mengetahui apakah sakit ibunya akan diwariskan, karena ia pernah mendengar epilepsy bisa diwariskan. Waduh gawat, padahal 6 bulan lagi ia akan menikah! Malam hari ketika semua sudah beristirahat, Arum menghubungi dokter Agung, teman sekolahnya dulu yang kebetulan mengambil spesialis syaraf. Syukurlah dokter Agung bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi dengannya lusa.  Bahkan beliau juga mengijinkan Arum untuk membagikan percakapan mereka agar keluarga Arum dan siapa pun yang memerlukan informasi tersebut, menjadi lebih paham mengapa lansia bisa mendadak epilepsy padahal tidak pernah ada riwayat sebelumnya. 

Dokter Agung memulai penjelasannya demikian,   

“Jika orangtua Anda mulai mengalami epilepsi pada usia 64 tahun, besar kemungkinan itu adalah epilepsi simtomatik (bukan genetik), yang dipicu oleh kondisi medis lain, dalam hal ini fluktuasi tekanan darah.” Kemudian mengalirlah percakapan keduanya bersama hembusan lembut angin sore di beranda tempat praktik dokter Agung. Kebetulan dokter hari itu libur. 

Apa sebenarnya yang disebut dengan Epilepsi?

Epilepsi adalah gangguan neurologis kronis yang ditandai dengan kejang berulang tanpa penyebab yang jelas. Kejang terjadi akibat aktivitas listrik abnormal di otak yang dapat memengaruhi kesadaran, gerakan, sensasi, perilaku, dan emosi seseorang. Tingkat keparahan kejang dapat bervariasi dari kedutan singkat yang hampir tidak terlihat hingga guncangan hebat dan kehilangan kesadaran yang berkepanjangan.

Bagaimana Epilepsi bisa menyerang lansia?

Meskipun seringkali dikaitkan dengan anak-anak, epilepsi juga dapat terjadi pada lansia. Bahkan, kejadian epilepsi baru (onset lambat) lebih umum terjadi pada orang di atas 60 tahun. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan epilepsi pada lansia meliputi:

  • Stroke: Ini adalah penyebab paling umum epilepsi onset lambat pada lansia. Kerusakan otak akibat stroke dapat mengganggu aktivitas listrik normal dan memicu kejang.
  • Penyakit Serebrovaskular Lain: Kondisi lain yang memengaruhi aliran darah ke otak, seperti penyakit arteri serebral, juga dapat meningkatkan risiko epilepsi.
  • Demensia: Penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer dan demensia vaskular dapat mengubah struktur otak dan meningkatkan kerentanan terhadap kejang.
  • Tumor Otak: Pertumbuhan abnormal di otak dapat menekan atau mengiritasi jaringan otak di sekitarnya, menyebabkan kejang.
  • Cedera Kepala: Riwayat cedera kepala traumatis, bahkan yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya, dapat meningkatkan risiko epilepsi di kemudian hari.
  • Infeksi Otak: Infeksi seperti meningitis atau ensefalitis dapat menyebabkan peradangan dan kerusakan otak yang memicu kejang.
  • Gangguan Metabolik: Ketidakseimbangan elektrolit, kadar gula darah yang sangat tinggi atau rendah, dan gagal ginjal atau hati dapat memengaruhi fungsi otak dan menyebabkan kejang.
  • Efek Samping Obat: Beberapa jenis obat dapat menurunkan ambang kejang dan memicu epilepsi pada individu yang rentan.
  • Penyebab yang Tidak Diketahui (Kriptogenik): Pada sebagian kasus, penyebab epilepsi pada lansia tidak dapat diidentifikasi dengan jelas.
Baca juga:  Cara Menjaga Kesehatan Mental Agar Tetap Waras

Gejala Epilepsi pada lansia

Gejala epilepsi pada lansia bisa lebih halus dan sulit dikenali dibandingkan pada orang dewasa yang lebih muda. Beberapa gejalanya meliputi:

  • Kebingungan atau perubahan status mental yang tiba-tiba dan berulang.
  • Kehilangan kesadaran sesaat atau “tatapan kosong”.
  • Gerakan menyentak atau kaku pada lengan, kaki, atau wajah.
  • Jatuh tanpa alasan yang jelas.
  • Episode memori hilang atau kebingungan setelah kejadian.
  • Perubahan perilaku yang tidak biasa.
  • Sensasi aneh seperti rasa, bau, atau perasaan yang tidak nyata.

Penting untuk dicatat bahwa beberapa gejala ini dapat disalahartikan sebagai bagian dari proses penuaan atau kondisi medis lain seperti demensia atau penyakit jantung. Oleh karena itu, evaluasi medis yang menyeluruh sangat penting untuk diagnosis yang akurat.

Bagaimana tekanan darah, seperti yang dialami Ibunya Arum, Bisa menyebabkan epilepsi?

Tekanan darah yang naik-turun secara ekstrem bisa memicu kejang, terutama bila menyebabkan:

  1. Stroke (baik iskemik maupun perdarahan)
    • Tekanan darah tinggi bisa menyebabkan pecah pembuluh darah di otak (stroke hemoragik) atau penyumbatan(stroke iskemik). Keduanya bisa merusak jaringan otak dan menimbulkan epilepsi.
    • Kejang bisa muncul bulan atau tahun setelah stroke terjadi (disebut epilepsi pasca-stroke).
  2. Hipoksia otak (kekurangan oksigen)
    • Tekanan darah yang terlalu rendah bisa mengurangi aliran darah ke otak, merusak jaringan otak secara perlahan.
  3. Perubahan struktur otak akibat penuaan dan hipertensi kronis
    • Dinding pembuluh darah otak menebal dan melemah, meningkatkan risiko mikroperdarahan yang tidak selalu disadari.

 Apa yang bisa Arum lakukan sekarang?

Berikut adalah beberapa langkah yang penting untuk mendukung orangtua jika terdiagnosa epilepsi:

Pantau tekanan darah secara rutin

  • Pastikan tekanan darahnya stabil. Gunakan alat ukur tekanan darah di rumah, dan catat hasilnya setiap hari.
  • Bicarakan dengan dokter apakah perlu penyesuaian obat hipertensi.
Baca juga:  Sering Halu dan Tiba-tiba Ngamuk? Jangan Dulu Ke Psikiater, Bisa Jadi itu Gejala Stroke!

Minum obat epilepsi secara teratur

  • Kepatuhan minum obat sangat penting agar kejang tidak berulang.
  • Jika kejang tetap muncul meskipun sudah minum obat, dokter mungkin akan mengevaluasi ulang dosis atau jenis obatnya.

Obat yang harus rutin diminum sesuai anjuran dokter adalah Obat Anti-Kejang (OAEs): Ini adalah lini pertama pengobatan. Pemilihan OAEs pada lansia memerlukan perhatian khusus karena mereka mungkin lebih sensitif terhadap efek samping dan berinteraksi dengan obat lain yang sedang dikonsumsi. Dosis awal seringkali lebih rendah dan ditingkatkan secara bertahap. Contoh OAEs yang sering digunakan pada lansia meliputi Levetiracetam, Gabapentin, Lamotrigin, dan Lacosamide karena profil efek sampingnya yang umumnya lebih baik

Konsultasi neurolog secara Berkala

  • Dokter spesialis saraf (neurolog) dapat mengevaluasi jenis epilepsi, kemungkinan penyebab (misalnya bekas stroke ringan), dan pengobatan jangka panjang.

Jaga pola hidup sehat

  • Cukup tidur (kurang tidur bisa memicu kejang)
  • Hindari stres dan kelelahan berlebih
  • Batasi konsumsi garam dan makanan tinggi kolesterol untuk menjaga tekanan darah

Apakah anak akan menuruni Epilepsi ini?

Karena epilepsi orangtua Arum kemungkinan besar disebabkan oleh tekanan darah tinggi dan penuaanrisiko genetiknya sangat kecil. Ini berbeda dengan epilepsi genetik yang mulai sejak kecil atau remaja.

Namun, tetap penting menjaga faktor risiko lain seperti tekanan darah, pola makan, dan gaya hidup sehat untuk mencegah masalah neurologis di masa depan.

Ah, akhirnya Arum lega dengan penjelasan dokter Agung. Lebih dari sekedar menjawab rasa penasarannya, ia kini lebih memahami apa yang sebenarnya dialami ibunya. Dokter Agung juga menyarankan agar Arum dan keluarga, terutama ibunya, selalu terbuka dan berkomunikasi agar tidak lagi sang ibu mengalami kejang hingga hampir tidak tertolong. Komunikasi yang lancar dan terbuka dengan dokter syaraf pendamping sang ibu, juga akan semakin efektif menjaga kesehatan beliau. Meskipun harus rutin minum obat dan konsultasi dokter, setidaknya, Arum sudah tahu, bagaimana keluarga dan terutama ibu tetap bisa beraktivitas dengan lepas tanpa terbeban dengan ketakutan sewaktu-waktu akan mengalami kejang lagi. 

Avatar untuk Yanne E.S

Tentang Penulis

Ibu penuh waktu yang hobi berenang, piknik, menulis, membaca. Peduli kesehatan dan kesejahteraan sesama makhluk bumi. Alumni Pelatihan Terapis Kinesio Indonesia.

Bagikan

Referensi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Sebelumnya

Hydration Hack: Biar Nggak Cuma Minum Pas Haus Doang

Selanjutnya

Integrasi Teknologi dalam Olahraga: Dari Wearable Hingga VR Training

Program Latihan

Killer Abs

Kesulitan

Mudah

10

menit

Alat

Tanpa Alat

Otot

Fleksor Pinggul, Inti (Core), Perut Bawah, Perut Samping, Perut Six Pack

Killer Abs

Bakar Kalori & Lemak Workout

Kesulitan

Menengah

13

menit

Alat

Tanpa Alat

Otot

Betis, Bokong, Fleksor Pinggul, Hamstring, Paha Depan, Perut Six Pack

Bakar Kalori & Lemak Workout

Full Body – Membara!! Workout

Kesulitan

Susah

6

menit

Alat

Pull-up Bar

Otot

Betis, Dada, Hamstring, Paha Depan, Sayap / Lats, Trapezius, Trisep

Full Body – Membara!! Workout

Lihat semua program latihan